Hanya Sekedar Pengalaman atau Lebih?
Banyak yang mengatakan kondisi
keilmiahan & keilmuan di Indonesia cukup memprihatinkan. Barometer yang sering
digunakan adalah jumlah publikasi ilmiah (khususnya yang bersifat
internasional) yang dikeluarkan berbagai institusi akademik di Indonesia yang
dikatakan rendah. Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang tidak suka melakukan sebuah penelitian ataupun
pengembangan keilmuan, hanya saja sedikit dari
kita yang mau merubah
pengalamannya saat menjawab sebuah permasalahan menjadi sebuah pengetahuan yang
diterima secara global.
Ada dua kutipan dari Albert Enstein
yang cocok untuk memulai tulisan kali ini yakni “The only source of
knowledge is experience” dan “Information is not knowledge”.
Kita sangat suka untuk melakukan sebuah percobaan di bidang apapun
walaupun hanya sebuah pengamatan sederhana atau hanya sekedar usaha trial
and error. Pekerjaan seperti ini bahkan sudah sering kita lakukan sejak
kecil seperti mencoba menemukan resep baru dengan mencampurkan berbagai macam
bahan makanan atau sekedar mengamati bagaimana sebuah pohon itu tumbuh. Walau
pengalaman memang sumber pengetahuan namun, hanya sekedar pengalaman tidak
cukup untuk mengubahnya menjadi sebuah pengetahuan yang diterima oleh
masyarakat dunia. Mengubah pengalaman sebagai sebuah pengetahuan membutuh
usaha-usaha pembuktian (baca:
eksperimen) yang dicatat (baca:
artikel ilmiah) terhadap pengalaman tersebut.
Kenapa pembuktian dan pencatatan itu
penting? Kita lihat fisikawan bernama Sir Isaac Newton, untuk menunjukkan
pengetahuan tentang gravitasi yang berasal dari sebuah pengamatan terhadap
jatuhnya buah apel, dia butuh sebuah eksperimen dan hasilnya dicatat dalam
sebuah buku berjudul “a Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica”. Begitu pula dengan sinar x yang
ditemukan oleh William Rontgen sebagai pengalaman yang tidak disengaja perlu
dicatat dalam laporan berjudul “A New Kind of Ray, a Preliminary
Communication” untuk diakui oleh dunia. Masih banyak contoh lain lagi yang
dapat menunjukkan bahwa pencatatan terhadap sebuah pengalaman merupakan hal
yang wajib dilakukan jika ingin diakui oleh masyarakat luas. Untuk mendapatkan
pengakuan masyarakat (khusunya masyarakat ilmiah) butuh bukti dan catatan dalam
bentuk artikel ilmiah.
Di sisi lain kita
sering dihadapkan pada sebuah situasi dimana masyarakat menganggap
pengalamannya sebagai sesuatu yang biasa. Saat konsep gravitasi belum
ditemukan, mungkin bila kita bertanya kenapa apel jatuh kebawah maka akan
banyak menjawab “Ya, karena memang seperti begitu”, “emang gue pikirin”,
ataupun klausa lainnya. Sampai saat ini pola penyederhanaan jawaban seperti
itulah yang masih menjangkiti cara berpikir masyarakat khususnya di Indonesia.
Masih banyak orang tua yang menjawab pertanyaan anaknya yang
sebenarnya brilian dengan
jawaban yang bisa dikatakan sebagai racun dunia keilmiahan. Pola penyederhanaan jawaban inilah
menimbulkan munculnya ketidakpekaan terhadap suatu masalah. Saat kita mulai
menjawab suatu masalah dengan jawaban racun tersebut seolah-olah kita mulai
untuk berhenti untuk ambil pusing dengan masalah tersebut.
Jadi jelas kita
sedang dihadapkan pada dua masalah besar yakni ketidakpekaan terhadap suatu
masalah dan ketidakmauan untuk menulis sebuah catatan ilmiah. Tetapi kita tidak
perlu berkecil hati, situasi ini belumlah terlambat untuk diperbaiki.
Penulis-penulis senior sering mangatakan bahwa menjadi lebih peka dan banyak
membaca adalah usaha yang perlu kita biasakan mulai saat ini untuk memunculkan
ide yang istimewa. Selain itu, mencoba menulis catatan mulai hari ini bisa jadi
merupakan langkah awal untuk menjadikan pengalaman kita lebih bernilai. Tidak
ada salahnya kita ubah pengalaman kita untuk menjadi lebih bermakna, jadi
mulailah melakukan pembuktian dan catat hasilnya dalam bentuk artikel ilmiah.
Mencoba untuk lebih peka,
Arya
0 komentar:
Posting Komentar