Selasa, 29 Oktober 2013

Hanya Sekedar Pengalaman atau Lebih?

Hanya Sekedar Pengalaman atau Lebih?



Banyak yang mengatakan kondisi keilmiahan & keilmuan di Indonesia cukup memprihatinkan. Barometer yang sering digunakan adalah jumlah publikasi ilmiah (khususnya yang bersifat internasional) yang dikeluarkan berbagai institusi akademik di Indonesia yang dikatakan rendah. Tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang tidak suka melakukan sebuah penelitian ataupun pengembangan keilmuan, hanya saja sedikit dari kita yang mau merubah pengalamannya saat menjawab sebuah permasalahan menjadi sebuah pengetahuan yang diterima secara global.
Ada dua kutipan dari Albert Enstein yang cocok untuk memulai tulisan kali ini yakni “The only source of knowledge is experience” dan “Information is not knowledge”.  Kita sangat suka untuk melakukan sebuah percobaan di bidang apapun walaupun hanya sebuah pengamatan sederhana atau hanya sekedar usaha trial and error. Pekerjaan seperti ini bahkan sudah sering kita lakukan sejak kecil seperti mencoba menemukan resep baru dengan mencampurkan berbagai macam bahan makanan atau sekedar mengamati bagaimana sebuah pohon itu tumbuh. Walau pengalaman memang sumber pengetahuan namun, hanya sekedar pengalaman tidak cukup untuk mengubahnya menjadi sebuah pengetahuan yang diterima oleh masyarakat dunia. Mengubah pengalaman sebagai sebuah pengetahuan membutuh usaha-usaha pembuktian (baca: eksperimen) yang dicatat (baca: artikel ilmiah) terhadap pengalaman tersebut.
Kenapa pembuktian dan pencatatan itu penting? Kita lihat fisikawan bernama Sir Isaac Newton, untuk menunjukkan pengetahuan tentang gravitasi yang berasal dari sebuah pengamatan terhadap jatuhnya buah apel, dia butuh sebuah eksperimen dan hasilnya dicatat dalam sebuah buku berjudul “PhilosophiƦ Naturalis Principia Mathematica”. Begitu pula dengan sinar x yang ditemukan oleh William Rontgen sebagai pengalaman yang tidak disengaja perlu dicatat dalam laporan berjudul “A New Kind of Ray, a Preliminary Communication” untuk diakui oleh dunia. Masih banyak contoh lain lagi yang dapat menunjukkan bahwa pencatatan terhadap sebuah pengalaman merupakan hal yang wajib dilakukan jika ingin diakui oleh masyarakat luas. Untuk mendapatkan pengakuan masyarakat (khusunya masyarakat ilmiah) butuh bukti dan catatan dalam bentuk artikel ilmiah.
Di sisi lain kita sering dihadapkan pada sebuah situasi dimana masyarakat menganggap pengalamannya sebagai sesuatu yang biasa. Saat konsep gravitasi belum ditemukan, mungkin bila kita bertanya kenapa apel jatuh kebawah maka akan banyak menjawab “Ya, karena memang seperti begitu”, “emang gue pikirin”, ataupun klausa lainnya. Sampai saat ini pola penyederhanaan jawaban seperti itulah yang masih menjangkiti cara berpikir masyarakat khususnya di Indonesia.  Masih banyak orang tua yang menjawab pertanyaan anaknya yang sebenarnya brilian dengan jawaban yang bisa dikatakan sebagai racun dunia keilmiahan. Pola penyederhanaan jawaban inilah menimbulkan munculnya ketidakpekaan terhadap suatu masalah. Saat kita mulai menjawab suatu masalah dengan jawaban racun tersebut seolah-olah kita mulai untuk berhenti untuk ambil pusing dengan masalah tersebut.
Jadi jelas kita sedang dihadapkan pada dua masalah besar yakni ketidakpekaan terhadap suatu masalah dan ketidakmauan untuk menulis sebuah catatan ilmiah. Tetapi kita tidak perlu berkecil hati, situasi ini belumlah terlambat untuk diperbaiki. Penulis-penulis senior sering mangatakan bahwa menjadi lebih peka dan banyak membaca adalah usaha yang perlu kita biasakan mulai saat ini untuk memunculkan ide yang istimewa. Selain itu, mencoba menulis catatan mulai hari ini bisa jadi merupakan langkah awal untuk menjadikan pengalaman kita lebih bernilai. Tidak ada salahnya kita ubah pengalaman kita untuk menjadi lebih bermakna, jadi mulailah melakukan pembuktian dan catat hasilnya dalam bentuk artikel ilmiah.

Mencoba untuk lebih peka, 
Arya 

0 komentar:

Posting Komentar